Rabu, 26 Mei 2010

Pembuka Kata

Bismilahirohanirohim
Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Atas saran beberapa sahabat yang saya kenal melalui Blog, maka saya menciptakan blog ini, sebagai wahana bertukar pikiran secara Jernih, Intelektual, dan Simpatik, atas dasar prinsif saling hormat-menghormati. Melalui blog ini saya ingin berbagi pemikiran pengalaman dan gagasan yang barangkali akan bermanfaat untuk menambah wawasan dalam menyikapi berbagai peristiwa di sekitar kita yqang di dapat dari guru saya di Pst Srahtarjuningrahyu Ciawi Tasikmalaya.

Selasa, 25 Mei 2010

Tingkatan Sholat ada 3 Bagian:

1. Esensi Sholat
2. Epistimologi
3. Aksiologis

1.Esensi Sholat yaitu:Proses cari kebenaran dari aspek kebenaran.
Bagiannya:

* Sholat sebagai do'a,do'a adalah:seruan dari yang lemah menjadi kuat.
* Sholat sebagai komunikasi,komunikasi dapat berupa saya sedang berbicara kepada kalian mulai dari A sampai Z.
* Sholat sebagai ibadah yang paling utama(Q.S 23:1-3).
* Shoolat sebagai Dzikir,pengingat yang paling agung(Q.S 11:14,20:14,7:205).
* Sholat sebagai barometer(tolak ukur dalam sholat).
* Sholat sebagai mi'rajnya orang mu'min.
* Sholat sebagai pengampunan dosa(Q.S Hud:114).

2.Epistimologi Sholat yaitu:Proses kebenaran melalui etimologi(tata cara).
Bagiannya:

* Memutuskan bahan sholat(Tae'sin).
* Menghadirkan sholat(Hudhorol qolbi).
* Memahami makna bacaan dan gerakan.
* Memiliki rasa malu,rhoja(menunggu-nunggu),khoup(rasa takut).

3.Aksiologis (Ruh Sholat) yaitu:Ilmu tentang kegunaan dari sesuatu itu.

* Menghadirkan sholat.
* Memberikan efek.
* Memahami makna gerakan ,ucapan,dan i'tikad.
* Memiliki rasa malu.
* Liwajhilah (memberi kebahagian kepada alloh).
* Halal dan bersih dalam hal makanan dan minuman maupun pakaiannya.

ada yang mengatakan orang alim bahwa filsapat adalah:kebenaran berdasarkan akal semata untuk mendapatkan kebenaran secara radikal (mendalam),berdasarkan akal semata.


peringatan:
jangan lah kita menjalankan sistem STMJ (Sholat terus maksiat jalan).

Pst. Srahtarjuningrahyu (kirkud CIAWI).

By: Dadan Sungkawa
1. Pendahuluan

Tiada tuhan selain alloh yang maha mencipta segenap mahluk. Dia senang tiasa mengurus tanpa sedikitpun mengenal lelah, dan tanpa pernah letih sedikitpun.

Wahai sahabat, negeri kita saat ini tengah "dianugrahi" nikmat yang sangat luar biasa. Apakah itu ? Tidak lain ialah krisis moneter, yang berimbas pada munculnya berbagai kerisis lainnya.

Melalui kerisis ini, para pegawai terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Tak sedikit pelajar dan mahasiswa putus sekolah dan kuliah karna tidak mampu mem biayayai. juga, tak sedikit para pejabat yang akhirnya masuk penjara karna terbukti menyalahgunakan uang negara, hanya demi menanggulangi kerisis moneter ini yang tengah melanda keluarganya.

Lalu mengapa krisis ini kita sebut sebagai "nikmat" ? itu karna melalui episode inilah alloh tengah menebarkan jaring jaringnya kepada hamba - hamba yang beriman, agar mendekat padanya dan mendapatkan kenikmatan yang lebih hakiki dan abadi.

Namun sayang banyak di antara kita yang putus asa. perlahan lahan meninggalkan shalat. Bersedekahsudah tidak mau lagi. berusaha lebih keras dan berdoa, mereka malah pergi kedukun, mencuri, melukai, menjual diri, dan berbagai bentuk kejahatan lain yang dianggapnya solusi untuk menyelesaikan masalah krisis tersebut.

Begitu juga, semakin hari pemberitaan di media cetak maupun elektronik di penuhi oleh berita berita kriminal.

Ada berita, beberapa plajar putra di sebuah kota besar tanpa ragu dan malu sedikitpun, berani menodong rekan mereka: seorang pelajar putri dari sekolah lain. Ada lagi berita tentang penjarahan tanah warga, walaupun sebenarnya tanah itu bukan hak milik yang merampasnya. Demikian pula berita tentang koruptor - koruptor yang makin merajalela, dan sebagainya.

Pemberitaan lain yang semakin akrab di telinga kita adalah narkoba. Diberitakan bahwa penggunaan narkoba oleh kalangan generasi muda kini telah mencapai angka 1,5 juta orang. Sungguh jumlah yang spektakuler!

Dikanan kiri kita, di depan maupun di belakang kita, tirai tirai keputusasaan selalu mengintai. Bahkan, bahkan seorang konsultan bisnispun mengakatakan bahwa ada beberapa pengusaha muda yang meminta kepadanya agar menolong mengajukan tunjangan kepada pemerintah, untutk pengadaan ektasi karna beratnya bebean yang mereka pikul dalam kerisis ekonomi ini. Konon, dengan mengonsumsi pil - pil tersebut para pengusasha muda itu dapat produktif kembali.

Realitas di atasmenujukan bahwa semakin hari, kita semakin dililit oleh masalah . Rasanya, persoalan begitu menumpuk di pelipuk mata kita, tiada habisnya. lebih dari itu, masalah itu makin menggelamkan kita pada penderitaan yang tak berkesudahan.

Hidup lantas terasa suram. Menoleh ke kanan, jadi masalah. Melirik ke kiri, juga jadi masalah. lihat ke bawah, pendapatan - paspasan. Ketika mengadah ke atas, pimpinan mengancam PHK.

Lantas apa yang bisa kita lakukan ketika semua itu menimpa ? Berbunyi di balik riuhnya tayangan televisi ? menjerumuskan diri pada pergaulan bebas yang menjanjikan kenikmatan sesaat ? Lari pada pil -pil syetan yang sementara waktu mungkin dapat membuat kita melupakan masalah keseharian ?Bunuh diri ? Berharap masalah usai setelah mati ?

Semua itu sangat mungkin terlintas dalam benak kita. pada dasarnya, manusia itu memang mudah untuk berputus asa. Sungguh , sangat naas apabila pikiran - pikiran semacam itu kita ikuti. Apalagi jika kita menuruti persangka untutk berputus asa pada rahmat alloh.

Lowongan kerja 2010

lowongan kerja

Senin, 24 Mei 2010

PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG MUSYAWARAH
Diposkan oleh: Dan's

Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.

Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersekutukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik. Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara tegas. Oleh karena itu soal sistem permusyawaratan diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik.

Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah yang dianjurkan atau diperintahkan dalam islam itu khusus dalam masalah-masalah keduaniawian dan tidak untuk soal-soal keagamaan. Sementara sebagian yang lain berpendirian bahwa disamping masalah-masalah keduniawian, musyawarah juga dapat dilakukan dalam soal-soal keagamaan sejauh yang tidak jelaskan oleh wahyu (Al-Qur’an dan Hadis)

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang jelas antara persoalan-persoalan duniawi dan agamawi tak dapat dipisahkan meskipun antara yang satu dengan yang lain memang dapat di bedakan. Dan suatu hal yang telah di sepakati bersama oleh para ulama ialah bahwa musyawarah tidak di benarkan untuk membahas masalah-masalah yang ketentuannya secara tegas dan jelas telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

A. Pengertian Musyawarah

Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (شرت العسل) saya mengeluarkan madu dari wadahnya. Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.

Musyawarah merupakan salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Islam memandang penting peranan musyawarah bagi kehidupan umat manusia, antara lain dapat dilihat dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.

B. Ayat-ayat Tentang Musyawarah

1. Surat Al-Baqarah ayat 233:

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ )

Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan musyawarah, menceraikan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah, seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.

2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ )

Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)

Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.

Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.

Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar Bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.

Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi perang Badar dengan menawarkan idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari Syam ide tersebut dan disepakati oleh para sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami berjalan menyebrangi lautan ini, tentu kami akan kami lakukan dan sekali-kali tidaklah kami akan bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada Nabinya, pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal disini. Dalam masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash tentang hal itu untuk mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat kekuasaan mereka.

عن الحسن رضي الله عنه: قد علم الله أنه ما به إليهم حاجة, ولكنه أرد أن يستن به من بعده. وعن النبى صلى الله عليه وسلم (( ما تشا ور قوم قط إلا هدوا لأرشد أمرهم ))

Hadis yang diriwayatkan dari hasan semoga redha Allah darinya: Allah sungguh mengetahui apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus untuk urusan mereka).

Kami akan berkata Ya Rasulullah, “Pergilah dan kami akan menyertaimu, berada didepanmu, disisi kanan kirimu berjuang dan bertempur bersamamu.”

Hal itu mengingat, bahwa didalam musyawarah, silang pendapat selalu terbuka, apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh sebab itulah, Allah memerintah Nabi agar menetapkan peraturan itu, dan mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw. , manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa bersikap tenang dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kamu Muslimin, dengan segala kemampuan yang ada.

Sebab, jamaah itu jauh kemungkinan dari kesalahan dibandingkan pendapat perseorangan dalam berbagai banyak kondisi. Bahaya yang timbul sebagai akibat dari penyerahan masalah umat terhadap pendapat perorangan, bagaimanapun kebenaran pendapat itu, akibatnya akan lebih berbahaya dibandingkan menyerahkan urusan mereka kepada pendapat umum.

Memang Nabi saw. selalu berpegang pada musyawarah selama hidupnya dalam menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum Muslimin, yang dalam hal ini beliau khususkan dengan kalangan ahlu ‘r-ru’yi dan kedudukan dalam menghadapi perkara-perkara yang apabila tersiar akan membahayakan umatnya.

Beliau juga melakukan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, setelah diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk berperang. Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum kaum Muhajirin dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga musyawarah yang pernah beliau lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.

Demikianlah, Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal itu. Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah Rasulullah melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu. Nabi saw. tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah. Karena bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka pasti hal itu akan diambil sebagai Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala zaman dan tempat.

Oleh karena itulah, ketika Abi Bakar diangkat menjadi khalifah, para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah saw. sendiri rela sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin agama kami, yaitu tatkala beliau sakit beliau sakit dan memerintahkan Abu Bakar mengimani shalat. Lalu mengapa kita tidak rela padanya dalam urusan duniawi kita.

3. Surat At-Thalaq ayat 6:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (الطلاق:٦ )

Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)

4. Surat Al-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (الشورى: ٣٨)

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan dirumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.

Kata ( أَمْرُهُمْ ) amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu masalah ibadah mahdhah/ murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarahkan. Di sisi lain, mereka yang tidak berwenang dalam urusan yang dimaksud, tidaklah perlu terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika di ajak oleh yang berwewenang, karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antar mereka. Al-Maraghi mengatakan apabila mereka berkumpul mereka mengadakan musyawarah untuk memeranginya dan membersihkan sehingga tidak ada lagi peperangan dan sebagainya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka bermusyawarah didalam mengambil suatu keputusan untuk mereka ikuti pendapat itu, contohnya dalam peperangan.

Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk Syûrâ yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk Syûrâ yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini pada periode dimana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasul SAW. Turunnya ayat yang menguraikan Syûrâ pada periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah adalah anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.

C. Musyawarah dalam Islam dan faedah-faedahnya

Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum

2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.

3. Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik

4. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam shalat-shalat fardhu. Shalat berjamaah lebih afdhal daripada shalat sendiri, dengan perbedaan duapuluh tujuh derajat.

Telah diriwayatkan dalam Al-Hasan r.a., bahwa Allah swt. sebenarnya telah mengetahui bahwa Nabi saw. sendiri tidak membutuhkan mereka (para sahabat, dalam masalah ini). Tetapi, beliau bermaksud membuat suatu sunnah untuk orang-orang sesudah beliau.

Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau pernah bersabda:

ما تشا ورقوم قط الا هدو الارشد امرهم

“Tidak satu kaum pun yang selalu melakukan musyawarah melainkan akan ditunjukkan jalan paling benar dalam perkara mereka”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., “aku belum pernah melihat seseorang melakukan musyawarah selain Nabi saw.”

فإذا عزمت فتوكل على الله

Apabila hatimu telah bulat dalam melakukan sesuatu, setelah hal itu dimusyawarahkan, serta dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka bertawakkallah kepada Allah. Serahkanlah sesuatu kepada-Nya, setelah mempersiapkan diri dan memiliki sarana untuk meniti sebab-sebab yang telah dijadikan Allah swt. untuk bisa mencapainya, seperti telah disebutkan didalam suatu hadist:

إعقلها وتوكل

“Pikirkanlahlah masak-masak, kemudian bertawakkallah (kepada Allah dalam melaksanakannya).”

Didalam hadits ini, terkandung isyarat yang menunjukkan wajibnya melaksanakan tekat apabilah syarat-syaratnya telah terpenuhi. Dan diantaranya melalui musyawarah.

Rahasia yang terkandung dalam hal ini adalah, bahwa meralat hal-hal yang sudah ditekadkan merupakan kelemahan jiwa seseorang. Juga sebagai kelemahan di dalam tabiatnya yang menjadikan yang bersangkutan itu tidak bisa dipercayai lagi, perkataan maupun perbuatannya. Terlebih lagi, jika ia seorang pemimpin pemerintahan atau panglima perang.

Oleh sebab itu, Nabi saw. tidak mendengarkan pendapat orang yang meralat pendapat pertamanya, sewaktu beliau sedang bermusyawarah mengenai perang Uhud. Pendapat itu mengatakan, bahwa kaum Muslimin harus keluar ke Uhud, begitu mereka talah mengenakan baju besi. Beliau berpandangan, bahwa sesudah bulat keputusan suatu musyawarah, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Jadi tidak boleh diralat lagi.

Dengan demikian, berarti Nabi saw mengajari mereka, bahwa dalam setiap pekerjaan ada waktunya masing-masing yang terbata. Dan waktu bermusyawarah itu, apabila talah selesai, tingallah tahap pengamalannya. Seorang panglima (pemimpin), apabila telah bersiap melaksanakan suatu pekerjaan sebagai realisasi dari hasil musyawarah, maka tidak boleh ia mencabut keputusan atau tekadnya, sekalipun ia melihat adanya kesalahan pendapat dari orang-orang yang ikut bermusyawarah, seperti yang terjadi dalam perang Uhud.

Pada surat Ali ‘Imran ayat 159 dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.

Juga dalam ayat itu dijelaskan sikap apa yang harus dilakukan ketika bermusyawarah yaitu:

1.

Sikap lemah lembut

Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musywarah akan bertebaran pergi.

لو كنت فظا غليظ القلب لانفضو من حولك

Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.

2.

Memberi dan membuka lembaran baru bagi anggota musyawarah.

D. Musyawarah Dalam Al-Qur’an

Berbagai masalah yang dibahas oleh para ulama mengenai musyawarah antara lain:

1. Orang yang diminta bermusyawarah

Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah yang ada pada surat Ali Imran ayat 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan redaksi perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. Saja diperintahkan oleh al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya tunggal kepada Nabi Saw.

Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan para sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk bertahan di kota Madinah, dan tidk keluar menghadapi musuh yang datang dari Mekkah. Sahabat-sahbat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat, mendesak agar kaum Muslim dibawah pimpinan Nabi Saw. “keluar” menghadapi musuh. Pendapat mereka itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi Saw. Menyetujuinya. Tetapi peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang dari tujuh puluh sahabat Nabi Saw.

Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi Saw. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan al-Qur’an tentang musyarah.

Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi Saw. Bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransikan dan menjadi tanggung jawabkan bersama, dibanding dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.

ما خا ب من استشا ر ولا ند م من استخا ر

“Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk kepada Allah tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah.”

2. Dalam hal-hal apa musyawarah dilaksanakan (lapangan musyawarah)

kata al-amr pada surat Ali ‘Imran ayat 159 di atas, ketika memerintahkan bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan dengan “persoalan atau urusan tertentu”. Sedangkan ayat Al-Syura menggunakan kata amruhum yang terjemahannya adalah urusan mereka.

Kata amr Al-Qur’an ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga ada campur tangan manusia pada urusan tersebut, seperti:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي (الشورى: ٨٥)

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah “Ruh adalah urusan Tuhan-Ku”. (QS. Al-Isra’: 85)

Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam surat Al-Kahf ayat 16:

يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا (الكهف: ١٦)

Artinya: Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu, dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. (QS. Al-Kahf: 16)

Ada juga kata amr yang tidak dinisbahkan itu yang berbentuk indefenitif, sehingga secara umum dapat dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 117:

وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (البقرة: ١١٧)

Artinya: Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata: “jadilah”, maka jadilah ia. (QS. Al-Baqarah: 117)

Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Seperti ada hal-hal yang khusus urusan Allah. Firman Allah:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (ال عمران: ١٢٨)

Artinya: Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka (itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berlaku aniaya. (QS. Ali ‘Imran: 128)

Betapapun, dari ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas adanya hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik lansung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti tata cara cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoaln duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.

Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga. Salah satu kasus keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah terhadap istri beliau ‘Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai kehormatan rumah tangganya. Ketika gosip tersebut menyebar, Rasulullah Saw. bertanya kepada sekian orang sahabat atau keluarganya.

Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.

Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia belum sampai kesana.

3. Dengan siapa sebaiknya musyawarah itu dilakukan

Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 tentang musyawarah di atas, Nabi SAW. diperintahkan bernusyawarah dengan “mereka”. Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw, yakni yang disebut dengan umat atau anggota masyarakat.

Sedangkan ayat yang lain menyatakan:

وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

Artinya: Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka. (QS. Al-Syura: 38)

Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama, diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendak dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah. Satu dari sekian riwayat menyatakan bahwa Rasul Saw. pernah berpesan kepada Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berkut:

يا علي لا تشا ورن جبا نا فإنه يضيف عليك المخرج ولا تشا ورن البخيل فإنه بقصربك عن غا يتك ولاتشا ورن حريصا فإنه يزين لك شرها. واعلم يا علي أن الجبن والبخل والحرص غريزة واحدة يجمعها سوء الظن باالله

Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia menyempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuan. Juga tidak dengan yang berambisi, karena ia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Katahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk terhadap Allah.

Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktik yang dilakukan Nabi Saw. cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua orang yang terlibat di dalam masalah yang dihadapi.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan oleh al-Qur’an, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat Islam.

Namun demikian, al-Qur’an tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks al-Qur’an hanyalah bahwa islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat didalam urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan masyarakat tetentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa kemasa lain.

Sikap al-Qur’an seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.

PENUTUP

A. Kesimpulan

A. Pengertian Musyawarah

Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.

Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.

1.

Ayat-ayat Tentang Musyawarah

1. Surat Al-Baqarah ayat 233:

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ )

Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)

2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ )

Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)

3. Surat At-Thalaq ayat 6:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (الطلاق:٦ )

Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)

4. Surat Al-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (الشورى: ٣٨)

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

B. Musyawarah dalam Islam dan faedah-faedahnya

Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum

2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.

3. Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam shalat-shalat fardhu.

D. Musyawarah Dalam Al-Qur’an

1. Orang yang diminta bermusyawarah

Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah yang ada pada surat Ali Imran ayat 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan redaksi perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. Saja diperintahkan oleh al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya tunggal kepada Nabi Saw.

2. Dalam hal-hal apa musyawarah dilaksanakan (lapangan musyawarah)

Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik lansung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti tata cara cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoaln duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.

Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga.

Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia belum sampai kesana.

3. Dengan siapa sebaiknya musyawarah itu dilakukan

Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 tentang musyawarah di atas, Nabi SAW. diperintahkan bernusyawarah dengan “mereka”. Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw, yakni yang disebut dengan umat atau anggota masyarakat. Jadi musyawarah dapat dilakukan dengan siapapun asalkan ia mempunyai akal yang sehat.
TAREKAT YANG ADA DI DUNIA
Diposkan oleh:Dan's
Tarekat Khalwatiyah adalah nama sebuah aliran tarekat yang berkembang di Mesir. Pada umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).

Tarekat Khalwatiyah dibawa ke Mesir oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).

Tarekat Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi QS. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain sebagainya.Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia.

Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nur Annaum Suryadipraja bin Haji Agus Tajudin yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin.

Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Ia sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat. Rekaman suara tausiahnya pada setiap pelaksanaan kholaqoh dzikirnya dapat didengarkan melalui http://www.SyaikhAchmadSyaechudin.org

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah nama sebuah tarekat yang merupakan penggabungan dari Tarekat Qodiriyah dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang dilakukan oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasiatau biasa disebut juga dengan nama Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Ia adalah ulama besar dari Indonesia yang diangkat menjadi imam Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah. Ia tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Ia wafat pada tahun 1878.Beliau Sebagai seorang guru mursyid yang kamil mukammil, Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Tarekat Qodiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid.Sebenarnya kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, dan karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihad beliau, maka layak jika nama tarekatnya itu dinisbatkan sebagai Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah. Namun karena sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi terhadap pendiri Tarekat Qodiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya.Dikemudian hari, tarekat ini sangat berkembang pesat dan menjadi tarekat yang paling banyak pengikutnya di Indonesia. Selanjutnya garis salsilahnya berlanjut melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten dan juga mengikuti jejak gurunya menjadi imam Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah.Selanjutnya jalur salsilahnya ini berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Salsilah ini terus berlanjut ke Syaikh Nur Annaum Suryadipraja bin Haji Agus Tajudin yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya sampai hari ini, garis salsilah ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin.Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Ia sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di bogor Baru, kota Bogor, propinsi Jawa Barat. Rekaman suara tausiah beliau pada setiap pelaksanaan kholaqoh dzikirnya dapat didengarkan melalui website *Tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah atau www.syaikhachmadsyaechudin.org *[1]

Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.

Tarekat Tijaniyah adalah salah satu dari gerakan tarekat yang didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.


Tarekat Shiddiqiyyah adalah salah satu dari 44 tarekat dalam agama Islam yang saat ini ada dan berkembang di dunia.[1] Tarekat Shiddiqiyyah merupakan aliran tarekat yang mengajarkan metode atau sistem untuk menanamkan kalimat Laa ilaaha ilallah ke dalam jiwa, hati, roh yang menyehatkan serta membersihkannya dari bemacam-macam penyakit dan kotoran. Tarekat ini dari Muhammad diturunkan melalui sahabat Abu Bakar as-Shiddiq.Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah saat ini adalah Syaikh Muhammad Muhtar bin Abdul Mu'thi – Muchtarullah al-Mujtaba, yang mulai mengajarkan Tarekat Shiddiqiyyah sejak tahun 1954, setelah memperoleh izin dan perintah dari Mursyidnya, Syaikh Ahmad Syuaib Jamali al-BanteniKata Shiddiqiyyah berasal dari gelar dari Abu Bakar ketika Nabi Muhammad menceritakan tentang pengalamannya didalam Isra Mi'raj kepada umatnya saat itu. Abu Bakar adalah salah satu orang pertama percaya akan kebenaran peristiwa Isra Mi'raj yang dialami Nabi Muhammad. Abu Bakar mendapatkan gelar Shiddiq dari Nabi Muhammad, yang artinya membenarkan, percaya atas kebenaran.Tarekat Shiddiqiyyah sekarang ini di luar Indonesia sudah punah, dan satu-satunya di dunia hanya terdapat di Indonesia yang berpusat di Jombang, Jawa Timur.

Tarekat Al-Idrisiyyah dinisbahkan kepada nama Syekh Ahmad bin Idris al-Fasi al-Hasani (1173 – 1253 H / 1760 - 1837 M). Sebenarnya Tarekat ini berasal dari Tarekat Khidhiriyyah yang berasal dari Nabi Khidir As yang diberikan kepada Syekh Abdul Aziz bin Mas'ud ad-Dabbagh Ra. Setelah Syekh Ahmad bin Idris Ra. Tarekat ini mengalami perkembangan lebih jauh yang melahirkan berbagai jenis Tarekat lainnya, hal ini disebabkan karena beberapa murid Syekh Ahmad bin Idris membuat komunitas Tarekat yang dinisbahkan kepadanya dan mengembangkan ajarannya menjadi suatu sistem ajaran yang lebih spesifik. Oleh karenanya tidaklah heran jika Tarekat Idrisiyyah ini memiliki hubungan yang erat dengan nama-nama Tarekat lainnya, seperti Sanusiyyah, Mirghaniyyah, Rasyidiyyah, Khidhiriyyah, Syadziliyyah, Dandarawiyyah, Qadiriyyah. Bahkan Syekh Muhammad bin Ali Sanusi sebagai murid Syekh Ahmad bin Idris menguasai 40 Thariqat yang dikumpulkan dalam sebuah masterpiece-nya 'Salsabil Mu'in fi Tharaa-iqul Arba'iin.
Cinta
Diposkan oleh Dan's

Sorang anak laki enam tahunan tampak berlari menjauh dari rumahnya. Beberapa saat sebelumnya, suara kaca pecah sempat menghentikan kesibukan orang - orang di sekitar rumah. ada penjual jamu, tukang sayur yang lewat , beberapa orang yang berlalu lalang. Mereka menoleh sebentar, dan berujar pelan, "Ah, anak itu lagi!"

Perilaku nakal anak itu ternyata bukan baru buat orang - orang yang kerap berada di sekitar rumah. Hampir tiap hari, bahkan bisa tiga kali sehari, anak itu melakukan kegaduhan. Dan kegaduhan itu selalu terjadi di sekitar rumahnya. Mulai suara gelas yang pecah, dobrakan pintu, dan yang baru saja terjadi, pecahnya kaca jendela.

Seperti biasanya, seorang ibu keluar sesaat setelah anak nakal itu berlari menjauh dari rumah. Sambil manggil - manggil sang anak, ibuitutidak memperlihatkan rona marah yang membara. Tidak juga berteriak - teriak mengancam, umumnya seorang yang memendam kesal. ia hanya memanggil - manggil nama anaknya dan dua kata setelahnya, "Sini Sayang!"

Kali ini, sang anak tidak seperti biasanya yang terus berlari menjauh. Ia berhenti. ia menoleh ke arah suara yang memanggil - manggil namanya. "Ibu," desisnya pelan. Wajah kesalnya tida tiba pudar berganti penyesalan. dan ia pun membiarkan dirinya dihampiri seseorang yang ia sebut Ibu.

"Nak!" suara sang ibu sambil tangan kanannya meraih rambut sang anak. Tangan itu pun membelai lembut rambut sang anak.

"Bu, Ibu nggak marah?" suara sang anak sambil wajahnya mendongak menatap wajah sang ibu. "Anakku, kenapa ibu harus marah?" jawab sang ibusingkat.

Sang anak pun tiba - tiba mendekap ibunya yang agak membungkuk mensejajarkan diri dengan anaknya. "Bu," suara sang anak tiba - tiba. sambil terus membelai rambut sang anaknya. "Ada apa, sayang?" ucap sang ibu lembut.

"Kenapa ibu bisa seperti ini ? Padahal aku sudah begitu nakal?" tanya si anak yang mulai mengendurkan dekapannya.

"Anakku," ujar si ibu. "Inilah Cinta!" lanjut suara sang ibu sembari tetap menampakkan senyum lembut kepada anaknya.

***

Begitu banyak tingkah nakal anak - anak manusia di bumi ini. Begitu banyak kerusakan yang mereka tampakkan sehingga kehidupan menjadi gaduh. Orang - Orang yang kebetulan berada di sekitar kegaduhan pun ikut merasakan gangguan - gangguan itu.

Tapi bersama dengan tingkah nakal itu, selalu muncul suara - suara lembut yang memanggil - manggil anak manusia untuk kembali. Seolah , suara panggilan itu mengatakan, "kembali, Sayang!"

Padahal, anak - anak manusia yang nakal itu sedikit pun tidak sebanding dengan kegagahan gunung yang menjulang, kedahsyatan terjangan ombak samudra yang bisa berubah drastis menjadi begitu menyeramkan.

Tapi kenapa, justru suara lembut yang selalu memanggil - manggil dari balik menjauhnya anak - anak manusia yang nakal.

Cinta. Itulah mungkin sebuah jawaban yang pas. Seperti yang diucapkan san ibu kepada anaknya, "Cinta anakku!" atau dalam bahasa lain, seperti yang diucapkan oleh yang maha sayang, "Warahmati Wasi'at kulla sya'i, Cinta-ku meliputi segala sesuatu!"

Sayang sebelum semua anak menyimak sapaankembali dan mencoba menengadah untuk membalas cinta dari yang maha sayang.

(Helmi.tech@gmail.com) esensisholat.blogspot.com
KISAH NABI IBRAHIM A.S
Diposkan oleh Dan's


Nabi Ibrahim adalah putera Aaazar {Tarih} bin Tahur bin Saruj bin Rau' bin Falij bin Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh A.S.Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama "Faddam A'ram" dalam kerajaan "Babylon" yang pd waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama "Namrud bin Kan'aan."
Kerajaan Babylon pd masa itu termasuk kerajaan yang makmur rakyat hidup senang, sejahtera dalam keadaan serba cukup sandang mahupun pandangan serta saranan-saranan yang menjadi keperluan pertumbuhan jasmani mrk.Akan tetapi tingkatan hidup rohani mrk masih berada di tingkat jahiliyah. Mrk tidak mengenal Tuhan Pencipta mrk yang telah mengurniakan mrk dengan segala kenikmatan dan kebahagiaan duniawi. Persembahan mrk adalah patung-patung yang mrk pahat sendiri dari batu-batu atau terbuat dari lumpur dan tanah.

Raja mereka Namrud bin Kan'aan menjalankan tampuk pemerintahnya dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak.Semua kehendaknya harus terlaksana dan segala perintahnya merupakan undang-undang yang tidak dpt dilanggar atau di tawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya itu dan kemewahan hidup yang berlebuh-lebihanyang ia nikmati lama-kelamaan menjadikan ia tidak puas dengan kedudukannya sebagai raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh rakyatnya sebagai tuhan. Ia berfikir jika rakyatnya mahu dan rela menyembah patung-patung yang terbina dari batu yang tidal dpt memberi manfaat dan mendtgkan kebahagiaan bagi mrk, mengapa bukan dialah yang disembah sebagai tuhan.Dia yang dpt berbicara, dapat mendengar, dpt berfikir, dpt memimpin mrk, membawa kemakmuran bagi mrk dan melepaskan dari kesengsaraan dan kesusahan. Dia yang dpt mengubah orang miskin menjadi kaya dan orang yang hina-dina diangkatnya menjadi orang mulia. di samping itu semuanya, ia adalah raja yang berkuasa dan memiliki negara yang besar dan luas.

Di tengah-tengah masyarakat yang sedemikian buruknya lahir dan dibesarkanlah Nabi Ibrahim dari seorang ayah yang bekerja sebagai pemahat dan pedagang patung. Ia sebagai calun Rasul dan pesuruh Allah yang akan membawa pelita kebenaran kepada kaumnya,jauh-jauh telah diilhami akal sihat dan fikiran tajam serta kesedaran bahwa apa yang telah diperbuat oleh kaumnya termasuk ayahnya sendiri adalah perbuat yang sesat yang menandakan kebodohan dan kecetekan fikiran dan bahwa persembahan kaumnya kepada patung-patung itu adalah perbuatan mungkar yang harus dibanteras dan diperangi agar mrk kembali kepada persembahan yang benar ialah persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan pencipta alam semesta ini.

Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjajakan patung-patung buatannya namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh Tuhan kepadanya ia tidak bersemangat untuk menjajakan brg-brg itu bahkan secara mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya kepada calun pembeli dengan kata-kata:" Siapakah yang akan membeli patung-patung yang tidak berguna ini? "

Nabi Ibrahim Ingin Melihat Bagaimana Makhluk Yang Sudah
Mati Dihidupkan Kembali Oleh Allah

Nabi Ibrahim yang sudah berketetapan hati hendak memerangi syirik dan persembahan berhala yang berlaku dalam masyarakat kaumnya ingin lebih dahulu mempertebalkan iman dan keyakinannya, menenteramkan
hatinya serta membersihkannya dari keragu-raguan yang mungkin esekali mangganggu fikirannya dengan memohon kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang sudah mati.Berserulah ia kepada Allah: " Ya Tuhanku! Tunjukkanlah kepadaku bagaimana engkau menghidupkan makhluk-makhluk yang sudah mati."Allah menjawab seruannya dengan berfirman:Tidakkah engkau beriman dan percaya kepada kekuasaan-Ku? "Nabi Ibrahim menjawab:" Betul, wahai Tuhanku, aku telah beriman dan percaya kepada-Mu dan kepada kekuasaan-Mu, namun aku ingin sekali melihat itu dengan mata kepala ku sendiri, agar aku mendapat ketenteraman dan ketenangan dan hatiku dan agar makin menjadi tebal dan kukuh keyakinanku kepada-Mu dan kepada kekuasaan-Mu."

Allah memperkenankan permohonan Nabi Ibrahim lalu diperintahkanlah ia menangkap empat ekor burung lalu setelah memperhatikan dan meneliti bahagian tubuh-tubuh burung itu, memotongnya menjadi berkeping-keping mencampur-baurkan kemudian tubuh burung yang sudak hancur-luluh dan bercampur-baur itu diletakkan di atas puncak setiap bukit dari empat bukit yang letaknya berjauhan satu dari yang lain.
Setelah dikerjakan apa yang telah diisyaratkan oleh Allah itu, diperintahnyalah Nabi Ibrahim memanggil burung-burung yang sudah terkoyak-koyak tubuhnya dan terpisah jauh tiap-tiap bahagian tubuh burung dari bahagian yang lain.

Dengan izin Allah dan kuasa-Nya datanglah berterbangan enpat ekor burung itu dalam keadaan utuh bernyawa seperti sedia kala begitu mendengar seruan dan panggilan Nabi Ibrahim kepadanya lalu hinggaplah empat burung yang hidup kembali itu di depannya, dilihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah YAng Maha Berkuasa dpt menghidupkan kembali makhluk-Nya yang sudah mati sebagaimana Dia menciptakannya dari sesuatu yang tidak ada. Dan dengan demikian tercapailah apa yang diinginkan oleh Nabi Ibrahim untuk mententeramkan hatinya dan menghilangkan kemungkinan ada keraguan di dalam iman dan keyakinannya, bahwa kekuasaan dan kehendak Allah tidak ada sesuatu pun di langit atau di bumi yang dpt menghalangi atau menentangnya dan hanya kata "Kun" yang difirmankan Oleh-Nya maka terjadilah akan apa yang dikenhendaki " Fayakun".

Nabi Ibrahim Berdakwah Kepada Ayah Kandungnya

Aazar, ayah Nabi Ibrahim tidak terkecuali sebagaimana kaumnya yang lain, bertuhan dan menyembah berhala bah ia adalah pedagang dari patung-patung yang dibuat dan dipahatnya sendiri dan drpnya orang membeli patung-patung yang dijadikan persembahan.
Nabi Ibrahim merasa bahwa kewajiban pertama yang harus ia lakukan sebelum berdakwah kepada orang lain ialah menyedarkan ayah kandungnya dulu orang yang terdekat kepadanya bahwa kepercayaan dan persembahannya kepada berhala-berhala itu adalah perbuatan yang sesat dan bodoh.Beliau merasakan bahawa kebaktian kepada ayahnya mewajibkannya memberi penerangan kepadanya agar melepaskan kepercayaan yang sesat itu dan mengikutinya beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Dengan sikap yang sopan dan adab yang patut ditunjukkan oleh seorang anak terhadap orang tuanya dan dengan kata-kata yang halus ia dtg kepada ayahnya menyampaikan bahwa ia diutuskan oleh Allah sebagai nabi dan rasul dan bahawa ia telah diilhamkan dengan pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh ayahnya. Ia bertanya kepada ayahnya dengan lemah lembut gerangan apakah yang mendorongnya untuk menyembah berhala seperti lain-lain kaumnya padahal ia mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak berguna sedikit pun tidak dpt mendtgkan keuntungan bagi penyembahnya atau mencegah kerugian atau musibah. Diterangkan pula kepada ayahnya bahwa penyembahan kepada berhala-berhala itu adalah semata-mata ajaran syaitan yang memang menjadi musuh kepada manusia sejak Adam diturunkan ke bumi lagi. Ia berseru kepada ayahnya agar merenungkan dan memikirkan nasihat dan ajakannya berpaling dari berhala-berhala dan kembali menyembah kepada Allah yang menciptakan manusia dan semua makhluk yang dihidupkan memberi mrk rezeki dan kenikmatan hidup serta menguasakan bumi dengan segala isinya kepada manusia.

Aazar menjadi merah mukanya dan melotot matanya mendengar kata-kata seruan puteranya Nabi Ibrahim yyang ditanggapinya sebagai dosa dan hal yang kurang patut bahwa puteranya telah berani mengecam dan menghina kepercayaan ayahnya bahkan mengajakkannya untuk meninggalkan kepercayaan itu dan menganut kepercayaan dan agama yang ia bawa. Ia tidak menyembunyikan murka dan marahnya tetapi dinyatakannya dalam kata-kata yang kasar dan dalam maki hamun seakan-akan tidak ada hunbungan diantara mereka. IA berkata kepada Nabi Ibrahim dengan nada gusar: " Hai Ibrahim! Berpalingkah engkau dari kepercayaan dan persembahanku ? Dan kepercayaan apakah yang engkau berikan kepadaku yang menganjurkan agar aku mengikutinya? Janganlah engkau membangkitkan amarahku dan cuba mendurhakaiku.Jika engkau tidak menghentikan penyelewenganmu dari agama ayahmu tidak engkau hentikan usahamu mengecam dan memburuk-burukkan persembahanku, maka keluarlah engkau dari rumahku ini. Aku tidak sudi bercampur denganmu didalam suatu rumah di bawah suatu atap. Pergilah engkau dari mukaku sebelum aku menimpamu dengan batu dan mencelakakan engkau."

Nabi Ibrahim menerima kemarahan ayahnya, pengusirannya dan kata-kata kasarnya dengan sikap tenang, normal selaku anak terhadap ayah seray berkaat: " Oh ayahku! Semoga engkau selamat, aku akan tetap memohonkan ampun bagimu dari Allah dan akan tinggalkan kamu dengan persembahan selain kepada Allah. Mudah-mudahan aku tidak menjadi orang yang celaka dan malang dengan doaku utkmu." Lalu keluarlah Nabi Ibrahim meninggalkan rumah ayahnya dalam keadaan sedih dan prihati karena tidak berhasil mengangkatkan ayahnya dari lembah syirik dan kufur.

Nabi Ibrahim Menghancurkan Berhala-berhala

Kegagalan Nabi Ibrahim dalam usahanya menyedarkan ayahnya yang tersesat itu sangat menusuk hatinya karena ia sebagai putera yang baik ingin sekali melihat ayahnya berada dalam jalan yang benar terangkat dari lembah kesesatan dan syirik namun ia sedar bahwa hidayah itu adalah di tangan Allah dan bagaimana pun ia ingin dengan sepenuh hatinya agar ayahnya mendpt hidayah ,bila belum dikehendaki oleh Allah maka sia-sialah keinginan dan usahanya.
Penolakan ayahnya terhadap dakwahnya dengan cara yang kasar dan kejam itu tidak sedikit pun mempengaruhi ketetapan hatinya dan melemahkan semangatnya untuk berjalan terus memberi penerangan kepada kaumnya untuk menyapu bersih persembahan-persembahan yang bathil dan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid dan iman kepada Allah dan Rasul-Nya

Nabi Ibrahim tidak henti-henti dalam setiap kesempatan mengajak kaumnya berdialog dan bermujadalah tentang kepercayaan yang mrk anut dan ajaran yang ia bawa. Dan ternyata bahwa bila mrk sudah tidak berdaya menilak dan menyanggah alasan-alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim tentang kebenaran ajarannya dan kebathilan kepercayaan mrk maka dalil dan alasan yang usanglah yang mrk kemukakan iaitu bahwa mrk hanya meneruskan apa yang oleh bapa-bapa dan nenek moyang mrk dilakukan dan sesekali mrk tidak akan melepaskan kepercayaan dan agama yang telah mrk warisi.

Nabi Ibrahim pd akhirnya merasa tidak bermanfaat lagi berdebat dan bermujadalah dengan kaumnya yang berkepala batu dan yang tidak mahu menerima keterangan dan bukti-bukti nyata yang dikemukakan oleh beliau dan selalu berpegang pada satu-satunya alasan bahwa mrk tidak akan menyimpang dari cara persembahan nenek moyang mrk, walaupun oleh Nabi Ibrahim dinyatakan berkali-kali bahwa mrk dan bapa-bapa mrk keliru dan tersesat mengikuti jejak syaitan dan iblis.
Nabi Ibrahim kemudian merancang akan membuktikan kepada kaumnya dengan perbuatan yang nyata yang dapat mrk lihat dengan mata kepala mrk sendiri bahwa berhala-berhala dan patung-patung mrk betul-betul tidak berguna bagi mrk dan bahkan tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri.

Adalah sudah menjadi tradisi dan kebiasaan penduduk kerajaan Babylon bahwa setiap tahun mrk keluar kota beramai-ramai pd suatu hari raya yang mrk anggap sebagai keramat. Berhari-hari mrk tinggal di luar kota di suatu padang terbuka, berkhemah dengan membawa bekalan makanan dan minuman yang cukup. Mrk bersuka ria dan bersenang-senang sambil meninggalkan kota-kota mrk kosong dan sunyi. Mrk berseru dan mengajak semua penduduk agar keluar meninggalkan rumah dan turut beramai -ramai menghormati hari-hari suci itu. Nabi Ibrahim yang juga turut diajak turut serta berlagak berpura-pura sakit dan diizinkanlah ia tinggal di rumah apalagi mrk merasa khuatir bahwa penyakit Nabi Ibrahim yang dibuat-buat itu akan menular dan menjalar di kalangan mrk bila ia turut serta.

" Inilah dia kesempatan yang ku nantikan," kata hati Nabi Ibrahim tatkala melihat kota sudah kosong dari penduduknya, sunyi senyap tidak terdengar kecuali suara burung-burung yang berkicau, suara daun-daun pohon yang gemerisik ditiup angin kencang. Dengan membawa sebuah kapak ditangannya ia pergi menuju tempat beribadatan kaumnya yang sudah ditinggalkan tanpa penjaga, tanpa juru kunci dan hanya deretan patung-patung yang terlihat diserambi tempat peribadatan itu. Sambil menunjuk kepada semahan bunga-bunga dan makanan yang berada di setiap kaki patung berkata Nabi Ibrahim, mengejek:" Mengapa kamu tidak makan makanan yang lazat yang disaljikan bagi kamu ini? Jawablah aku dan berkata-katalah kamu."
Kemudian disepak, ditamparlah patung-patung itu dan dihancurkannya berpotong-potong dengan kapak yang berada di tangannya. Patung yang besar ditinggalkannya utuh, tidak diganggu yang pada lehernya dikalungkanlah kapak Nabi Ibrahim itu.

Terperanjat dan terkejutlah para penduduk, tatkala pulang dari berpesta ria di luar kota dan melihat keadaan patung-patung, tuhan-tuhan mrk hancur berantakan dan menjadi potongan-potongan terserak-serak di atas lantai. Bertanyalah satu kepada yang lain dengan nada hairan dan takjub: "Gerangan siapakah yang telah berani melakukan perbuatan yang jahat dan keji ini terhadap tuhan-tuhan persembahan mrk ini?" Berkata salah seorang diantara mrk:" Ada kemungkinan bahwa orang yang selalu mengolok-olok dan mengejek persembahan kami yang bernama Ibrahim itulah yang melakukan perbuatan yang berani ini." Seorang yang lain menambah keterangan dengan berkata:" Bahkan dialah yang pasti berbuat, karena ia adalah satu-satunya orang yang tinggal di kota sewaktu kami semua berada di luar merayakan hari suci dan keramat itu." Selidik punya selidik, akhirnya terdpt kepastian yyang tidak diragukan lagi bahwa Ibrahimlah yang merusakkan dan memusnahkan patung-patung itu. Rakyat kota beramai-ramai membicarakan kejadian yang dianggap suatu kejadian atau penghinaan yang tidak dpt diampuni terhadap kepercayaan dan persembahan mrk. Suara marah, jengkel dan kutukan terdengar dari segala penjuru, yang menuntut agar si pelaku diminta bertanggungjawab dalam suatu pengadilan terbuka, di mana seluruh rakyat penduduk kota dapat turut serta menyaksikannya.

Dan memang itulah yang diharapkan oleh Nabi Ibrahim agar pengadilannya dilakukan secara terbuka di mana semua warga masyarakat dapat turut menyaksikannya. Karena dengan cara demikian beliau dapat secara terselubung berdakwah menyerang kepercayaan mrk yang bathil dan sesat itu, seraya menerangkan kebenaran agama dan kepercayaan yang ia bawa, kalau diantara yang hadir ada yang masih boleh diharapkan terbuka hatinya bagi iman dari tauhid yang ia ajarkan dan dakwahkan.
Hari pengadilan ditentukan dan datang rakyat dari segala pelosok berduyung-duyung mengujungi padang terbuka yang disediakan bagi sidang pengadilan itu.

Ketika Nabi Ibrahim datang menghadap para hakim yang akan mengadili ia disambut oleh para hadirin dengan teriakan kutukan dan cercaan, menandakan sangat gusarnya para penyembah berhala terhadap beliau yang telah berani menghancurkan persembahan mrk.
Ditanyalah Nabi Ibrahim oleh para hakim:" Apakah engkau yang melakukan penghancuran dan merusakkan tuhan-tuhan kami?" Dengan tenang dan sikap dingin, Nabi Ibrahim menjawab:" Patung besar yang berkalungkan kapak di lehernya itulah yang melakukannya. Cuba tanya saja kepada patung-patung itu siapakah yang menghancurkannya." Para hakim penanya terdiam sejenak seraya melihat yang satu kepada yang lain dan berbisik-bisik, seakan-akan Ibrahim yang mengandungi ejekan itu. Kemudian berkata si hakim:" Engkaukan tahu bahwa patung-patung itu tidak dapat bercakap dan berkata mengapa engkau minta kami bertanya kepadanya?" Tibalah masanya yang memang dinantikan oleh Nabi Ibrahim,maka sebagai jawapan atas pertanyaan yang terakhir itu beliau berpidato membentangkan kebathilan persembahan mrk,yang mrk pertahankan mati-matian, semata-mata hanya karena adat itu adalah warisan nenek-moyang. Berkata Nabi Ibrahim kepada para hakim itu:" Jika demikian halnya, mengapa kamu sembah patung-patung itu, yang tidak dapat berkata, tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa manfaat atau menolak mudharat, bahkan tidak dapat menolong dirinya dari kehancuran dan kebinasaan? Alangkah bodohnya kamu dengan kepercayaan dan persembahan kamu itu! Tidakkah dapat kamu berfikir dengan akal yang sihat bahwa persembahan kamu adalah perbuatan yang keliru yang hanya difahami oleh syaitan. Mengapa kamu tidak menyembah Tuhan yang menciptakan kamu, menciptakan alam sekeliling kamu dan menguasakan kamu di atas bumi dengan segala isi dan kekayaan. Alangkah hina dinanya kamu dengan persembahan kamu itu."

Setelah selesai Nabi Ibrahim menguraikan pidatonya iut, para hakim mencetuskan keputusan bahawa Nabi Ibrahim harus dibakar hidup-hidup sebagai ganjaran atas perbuatannya menghina dan menghancurkan tuhan-tuhan mrk, maka berserulah para hakim kepada rakyat yang hadir menyaksikan pengadilan itu:" Bakarlah ia dan belalah tuhan-tuhanmu , jika kamu benar-benar setia kepadanya."

Nabi Ibrahim Dibakar Hidup-hidup

Keputusan mahkamah telah dijatuhakan.Nabi Ibrahim harus dihukum dengan membakar hidup-hidup dalam api yang besar sebesar dosa yang telah dilakukan. Persiapan bagi upacara pembakaran yang akan disaksikan oleh seluruh rakyat sedang diaturkan. Tanah lapang bagi tempat pembakaran disediakan dan diadakan pengumpulan kayu bakar dengan banyaknya dimana tiap penduduk secara gotong-royong harus mengambil bahagian membawa kayu bakar sebanyak yang ia dapat sebagai tanda bakti kepada tuhan-tuhan persembahan mrk yang telah dihancurkan oleh Nabi Ibrahim.

Berduyun-duyunlah para penduduk dari segala penjuru kota membawa kayu bakar sebagai sumbangan dan tanda bakti kepada tuhan mrk. Di antara terdapat para wanita yang hamil dan orang yang sakit yang membawa sumbangan kayu bakarnya dengan harapan memperolehi barakah dari tuhan-tuhan mereka dengan menyembuhkan penyakit mereka atau melindungi yang hamil di kala ia bersalin.
Setelah terkumpul kayu bakar di lanpangan yang disediakan untuk upacara pembakaran dan tertumpuk serta tersusun laksan sebuah bukit, berduyun-duyunlah orang datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman atas diri Nabi Ibrahim. Kayu lalu dibakar dan terbentuklah gunung berapi yang dahsyat yang sedang berterbangan di atasnya berjatuhan terbakar oleh panasnya wap yang ditimbulkan oleh api yang menggunung itu. Kemudian dalam keadaan terbelenggu, Nabi Ibrahim didtgkan dan dari atas sebuah gedung yang tinggi dilemparkanlah ia kedalam tumpukan kayu yang menyala-nyala itu dengan iringan firman Allah:" Hai api, menjadilah engkau dingin dan keselamatan bagi Ibrahim."

Sejak keputusan hukuman dijatuhkan sampai saat ia dilemparkan ke dalam bukit api yang menyala-nyala itu, Nabi Ibrahim tetap menunjukkan sikap tenang dan tawakkal karena iman dan keyakinannya bahwa Allah tidak akan rela melepaskan hamba pesuruhnya menjadi makanan api dan kurban keganasan orang-orang kafir musuh Allah. Dan memang demikianlah apa yang terjadi tatkala ia berada dalam perut bukit api yang dahsyat itu ia merasa dingin sesuai dengan seruan Allah Pelindungnya dan hanya tali temali dan rantai yang mengikat tangan dan kakinya yang terbakar hangus, sedang tubuh dan pakaian yang terlekat pada tubuhnya tetap utuh, tidak sedikit pun tersentuh oleh api, hal mana merupakan suatu mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada hamba pilihannya, Nabi Ibrahim, agar dapat melanjutkan penyampaian risalah yang ditugaskan kepadanya kepada hamba-hamba Allah yang tersesat itu.

Para penonton upacara pembakaran hairan tercenggang tatkala melihat Nabi Ibrahim keluar dari bukit api yang sudah padam dan menjadi abu itu dalam keadaan selamat, utuh dengan pakaiannya yang tetap berda seperti biasa, tidak ada tanda-tanda sentuhan api sedikit jua pun. Mereka bersurai meninggalkan lapangan dalam keadaan hairan seraya bertanya-tanya pada diri sendiri dan di antara satu sama lain bagaimana hal yang ajaib itu berlaku, padahal menurut anggapan mereka dosa Nabi Ibrahim sudah nyata mendurhakai tuhan-tuhan yang mereka puja dan sembah.Ada sebahagian drp mrk yang dalam hati kecilnya mulai meragui kebenaran agama mrk namun tidak berani melahirkan rasa ragu-ragunya itu kepada orang lain, sedang para pemuka dan para pemimpin mrk merasa kecewa dan malu, karena hukuman yang mrk jatuhkan ke atas diri Nabi Ibrahim dan kesibukan rakyat mengumpulkan kayu bakar selama berminggu-minggu telah berakhir dengan kegagalan, sehingga mrk merasa malu kepada Nabi Ibrahim dan para pengikutnya.

Mukjizat yang diberikan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi Ibrahim sebagai bukti nyata akan kebenaran dakwahnya, telah menimbulkan kegoncangan dalam kepercayaan sebahagian penduduk terhadap persembahan dan patung-patung mrk dan membuka mata hati banyak drp mrk untuk memikirkan kembali ajakan Nabi Ibrahim dan dakwahnya, bahkan tidak kurang drp mrk yang ingin menyatakan imannya kepada Nabi Ibrahim, namun khuatir akan mendapat kesukaran dalam penghidupannya akibat kemarahan dan balas dendam para pemuka dan para pembesarnya yang mungkin akan menjadi hilang akal bila merasakan bahwa pengaruhnya telah bealih ke pihak Nabi Ibrahim.

Sabtu, 22 Mei 2010

Ilmu Warits / Faraidl

Diposkan oleh Dan's

Ilmu Warits / Faraidl

Ilmu Waris adalah ilmu yang membahas tentang pembagian harta si mati atau bisa di sebut dengan (tirkah)adalah harta peninggalan simati.

A. Rukun Waris

  1. Ada simati (Muarrits), Yaitu orang yang matinya.
  2. Ada harta simati (Mauruts), Yaitu harta yang telah ti ditinggal oleh orang yang mati.
  3. ahli waris (Warist), Yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si - mati.

B. Dasar - dasar Ilmu Waris / Faraidl

    • Al - Qur'an (Surat An - Nisa ayat 7, 11, 12, 176) Tambahan Ayat (8 dan 32)

    • Al - Hadist, Diantaranya Hadist Yang diriwiyatkan oleh Abbas Ra :

Yang Artinya : "Nabi Muhamad saw. Bersabda : Berikanlah harta kepada orang - orang yang haknya. sesudah itu sisanya, untuk anak laki - laki yang lebih utama".

(HR. Bukhory - Muslim).

    • Al - Ijma dan Ijtihad

C. Sebab - Sebab Menerima Warisan

  1. nasab (Hubungan Keturunan) seperti : anak, cucu, ayah, ibu dan yang lainya.
  2. Nikah (Hubungan Perkawinan) Nyaeta salaki atawa pamajikan.
  3. Hubungan Agama

D. Sebab - Sebab Tidak Menerima Warisan (Mawaniul Irshi)

  1. kapir
  2. Murtad
  3. Anak Haram
  4. Anak Angkat
  5. Anak tiri
  6. Mati Bersam
  7. Membunuh

E. Hal - Hal yang berhubungan dengan harta warisan

1. Zakat 2. Biaya pengurusan Jenazah 3. Hutang 4. Wasiat

F. Golongan Ahli Waris

1. Dzawil Furudh 2. Dzawil arham 3. Ashlul Ashobah

G. Macam - Macam Furudhul Muqhoddarah

  1. 2/3 (Dua Pertiga)
  2. 1/2 (Satu Perdua)
  3. 1/3 (satu pertiga)
  4. 1/4 (Satu perempat)
  5. 1/6 (Satu Perenam)
  6. 1/8 (Satu Perdelapan)

Macam – Macam Furudhul Muqaddarah

1. Para Ahli Waris Yang Mendapatkan 1/2 Bagian

  1. Suami apabila tanpa far' u-waris
  2. Anak perempuan tunggal
  3. Cucu perempuan pancar laki – laki, Kalautidak ada :

· Anak perempuan

· Cucu laki dari laki (yang menjadi muasibnya)

4. Saudari sekandung apabila tidak ada :

· Anak perempuan

· Muasib

5. Saudari seayah apabila tidak ada :

· Anak perempuan

· Muasib

· Saudari sekandung

Contoh : Skema

2. Para Ahli Waris Yang Mendapatkan 1/3 Bagian

  1. Ibu apabila yang mati tidak mempunyai far' u-waris atau tidak ada saudara sekandung, sebapak, ataupun seibu.
  2. Dua orang saudara laki – laki / istri seibu / lebih.

Contoh : Skema

3. Para Ahli Waris Yang Mendapatkan 1/4 Bagian

  1. Suami apabila bersama – sama far' u-waris
  2. Istri apabila tanpa far' u-waris

Contoh : Skema

4. Para Ahli Waris Yang Mendapatkan 1/8 Bagian

  1. Istri apabila bersama sama Far' u-waris

Contoh : Skema

5. Para Ahli Waris Yang Mendapatkan 1/8 Bagian

  1. Ayah apabila bersama sama far' u-waris laki – laki
  2. Ibu apabila bersama sama : Far' u-waris

Dua saudara laki – laki

  1. Saorang saudara atau saudari seibu
  2. Seorang cucu perempuan dari laki -laki atau lebih, kalau ada : anak perempuan.
  3. Seorang saudari seayah, apabila bersama saudari sekandun.
  4. Kakek tidak ada ayah, bersama far' u-waris laki – laki (sohih).
  5. Nenek apabila tidak ada ibu (sohihah).

Kakek Kemungkinan Mendapatkan :

  1. 1/6 Apabila bersama sama far' u-waris laki – laki.
  2. 1/6 + Ashobah Apabila bersama sama far' u-waris perempuan.
  3. Ashobah Apabila tidak ada Far' u-waris.

Contoh : Skema

6. Para Ahli Waris Yang Mendapatkan 2/3 Bagian

  1. Dua orang atau lebih anak perempuan kalau tidak ada :

- anak laki – laki

  1. Dua orang atau lebih cucu perempuan dari laki – laki kalau tidak ada :

- Anak perempuan dan

- Cucu laki dari anak laki

  1. Dua orang atau lebih saudari sekandung, kalau tidak ada :

- Saudara

- far' u-waris perempuan.

  1. Dua orang atau lebih saudari seayah, kalau tidak ada :

- Anak perempuan Seibu atau sebapak - Bapak Meninggal

- Cucu perempuan dari anak laki – laki.

- Saudari seibu atau sebapak

- Mu'asibnya

Contoh : Skema


H. Ahli Waris ‘ Ashobah

1. Ashobah Binafsihi

Adalah ahli warist karena dirinya sendiri (Tidak Perlu Bantuan Perempuan) atau Tidak Bersama Perempuan.

Kelompoknya :

- Ushul Waris Laki – Laki atau Asal si mati laki – laki (Bapak, Kakek dst.).

- Par’ul Waris Laki – Laki atau Keturunan laki – laki (anak laki – laki, cucu

laki – laki dari laki – laki dst.).

- Khowasy Laki – Laki atau Saudara laki – laki (yang dekat ataupun saudara yang jauh). Khowasy Terbagi 2 :

- Dekat = Adik / Kakak

- Jauh = Paman

2. Ashobah Bi Gairihi

Adalah Setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu sambil di ikuti oleh ahli wairs laki – laki.

Kelompoknya :

- Anak perempuan tunggal kalau ada anak laki – laki.

- Cucu perempuan pancar laki – laki kalau ada cucu laki – laki dari laki – laki.

- Saudari Sekandung kalau ada saudara laki – laki sekandung.

- Saudari seayah kalau ada saudara laki – laki seayah.

Syaratnya :

- Bersama – sama Muasib

- Tanpa Far’ u-waris perempuan.

3. Ashobah Ma’a Gairihi

Adalah setiap ahli waris perempuan yang mendapatkan bagian tertentu dan memerlukan far’ u-waris perempuan. Dan tidakada muasibna.

Kelompoknya :

- Saudari sekandung kalau ada far’u-waris perempuan dan tidak ada saudara laki – laki sekandung.

- Saudari seayah kalau ada far’u-waris perempuan dan tidak ada saudara laki – laki seayah.

Syaratnya :

- Bersama Far’u-waris perempuan

- Tanpa Muasib (adalah = seseorang yang menjadikan ashobah bersama orang lain, dan ia bersama sama menerima ashobah tersebut.)

I. Hijab

Hijab Terbagi Dua bagian :

1. Hijab Bil’ Wasfi Adalah (Mawaniul’Irsi) Sebab – Sebab tidak mendapatkan warisan Diantaranya :

- Kapir

- Murtad

- Anak Haram

- Mati berbarengan

- Anak angkat

- Membunuh

2. Hijab Bis’ Syahshi Terbagi Dua :

- Nuqhson adalah seseorang Menerima warisan kurangnya.

Contoh : Suami apabila bersama far’u-waris akan mendapatkan 1/4 kalau toh suami itu tanpa far’u-warist maka akan jadi mendapatkan ½..

- Hirman Jihat yang jauh Terhijab oleh jihat yang lebih dekat

Contoh : Kakek Oleh Ayah

Skema :





2009

Creatid By: DadanSungkawa
iuiuiu